Pernah, di malam-malam sunyi yang panjang, aku sadar: tak semua rindu bisa tiba, dan tak semua tanya layak dikejar jawabannya. Ada yang datang sekadar singgah, lalu pergi tanpa suara. Seperti bayanganmu yang kadang lewat, kadang menghilang, tapi tak pernah benar-benar hilang. Aku pernah membaca—entah di mana—bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah yang harus disimpan diam-diam. Rindu yang hanya bisa dipeluk dalam kepala, yang tak pernah punya tempat untuk mendarat. Dan entah kenapa, aku masih memeliharanya. Mungkin karena di situ aku merasa kamu masih dekat, walau hanya bayangan. Setiap pagi aku bangun dengan kebiasaan yang sama. Duduk, mengecek ponsel, dan menahan diri agar tidak mengetikkan “kabar kamu gimana?” Padahal jari-jari ini hafal betul letak namamu. Tapi hati lebih hafal kenyataan bahwa kamu bukan lagi tempat yang bisa kusebut tujuan. Ternyata perpisahan itu tidak selalu menggelegar. Kadang ia datang dalam bentuk obrolan yang makin jarang, pesan yang makin singkat, dan...
Ada banyak hal di dunia ini yang tak selesai, dan bukan karena kurang cinta. Kadang hanya karena waktu tak berpihak, atau karena dua orang terlalu takut akan luka yang pernah datang sebelumnya. Aku menyadari, tidak semua pertemuan dimaksudkan untuk menjadi perjalanan. Beberapa hanya mampir, untuk mengingatkan kita bahwa hati kita masih bisa bergetar, bahkan ketika kita tak ingin jatuh cinta lagi. Kamu datang seperti itu—sebuah kejutan tenang yang merayap pelan ke dalam hidupku. Kita tidak mulai dengan ledakan, tapi dengan bisikan yang tumbuh. Dari tanya yang sederhana, dari tatapan yang terlalu lama tertahan, dari senyum yang tidak semestinya terlalu manis untuk pagi hari yang biasa-biasa saja. Kamu adalah jeda dalam hidupku yang bising, dan aku menyukainya. Aku pernah berpikir, jika suatu saat aku jatuh cinta lagi, itu akan terasa seperti badai. Ternyata tidak. Ternyata jatuh cinta bisa seperti pulang—hangat, sederhana, dan tanpa banyak kata. Tapi seperti rumah yang tak sempat diban...