Langsung ke konten utama

Menjadi Pengisi, Tapi Tak Pernah Menjadi Pemeran Utama

 Ada saatnya aku merasa telah memberikan segalanya untuk seseorang. Waktu, perhatian, bahkan seluruh hati, hanya untuk menyadari bahwa aku hanyalah bagian kecil dalam ceritanya. Aku hadir, tapi tidak pernah benar-benar diutamakan. Aku mengisi ruang yang kosong, tetapi tidak pernah menjadi alasan seseorang untuk tinggal.

Awalnya, aku berpikir tidak apa-apa. Selama masih bisa berada di dekatnya, meski hanya pinggiran, aku sudah merasa cukup. Aku percaya bahwa dengan kesabaran, dengan tetap bertahan, suatu saat dia akan menyadari bahwa aku lebih dari sekedar ada.

Namun, tidak peduli seberapa banyak yang aku berikan, tidak semua orang akan melihatku seperti yang aku harapkan. Aku bisa menjadi cahaya dalam gelapnya, tempat pulang dikala lelah, tapi jika dalam hatinya aku hanyalah persinggahan sementara, maka seberapa keras pun aku bertahan, aku tetap tak akan menjadi tujuan akhirnya.

Dan tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari sekadar menjadi figuran? Bukan hanya sekadar tersisih, tetapi menyadari bahwa aku hanyalah tempat singgah sementara. Aku ada dalam kisahnya, tetapi bukan bagian dari akhirnya. Aku menjadi tempat berbagi tawa, tempat mengadu luka, tetapi ketika saatnya tiba untuk memilih, aku tetap menjadi yang terabaikan. Lebih menyakitkan lagi, bukan karena ada orang lain yang menggantikan, tetapi karena aku memang tidak pernah benar-benar dianggap ada.

Lalu, apakah semua ini ada artinya? Mengapa aku terus menggenggam sesuatu yang tak pernah menggenggamku kembali? Mengapa aku rela menetap di hati yang tak pernah benar-benar menyediakan ruang? Mengapa aku masih berharap pada seseorang yang bahkan tak akan menoleh saat aku pergi?

Aku berhak untuk dicintai dengan utuh, bukan hanya disisakan. Aku berhak menjadi pilihan yang pasti, bukan sekadar persinggahan yang dilupakan saat tak lagi dibutuhkan.

Aku tahu bagaimana rasanya bertahan dalam ketidakpastian, berharap pada sesuatu yang tak pernah benar-benar menggenggamku kembali. Tapi cinta seharusnya tidak membuatku merasa kecil, tidak membuatku bertanya-tanya apakah aku cukup berarti. Jika kehadiranku hanya diperhitungkan saat dibutuhkan, tetapi diabaikan saat aku butuh seseorang ... maka mungkin sudah waktunya aku memilih diriku sendiri.

Memiliki tempat itu penting. Tetapi jika hanya sekedar menjadi bayangan, hanya sekedar figuran dalam hidup seseorang ... itu bukan tempat yang pantas untukku.

Mungkin sudah waktunya aku keluar dari cerita itu dan mulai menulis kisahku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelajaran Cinta dan Makna Kehidupan dari Luka Ditinggalkan

Ingatan indah bersama dia terlintas di benak, menghadirkan kembali momen tawa dan canda yang kini hanya tinggal kenangan. Kekosongan yang mendalam menyelimuti hatiku, menggerogoti rasa rindu yang tak terhingga. Di balik kesunyian yang mendalam, duniaku terasa asing tanpa kehadirannya, setiap sudut ruangan menyimpan memori tentangnya yang tak terlukiskan. Bayangannya tak henti menghantuiku, suaranya yang lembut bagaikan alunan merdu kini tak lagi dapat didengar. Kekosongan yang dia tinggalkan bagaikan luka tanpa bekas, namun perihnya menusuk ke dalam hati, meninggalkan luka mendalam yang sulit untuk aku ikhlaskan. Kesedihan mendalam menyelimuti jiwaku, terombang-ambing di lautan kesepian tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dunia terasa runtuh saat aku kehilangan orang tercinta, separuh jiwaku hilang, meninggalkan luka mendalam yang sukar terlupa. Keheningan menyelimuti hari-hariku, ditemani rasa pilu di dada yang tak terlukiskan. Di balik kesedihanku yang mendalam, rasa marah dan kecewa b...

Kita Yang Hampir Tiba, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Sampai

Ada satu hal yang selalu membuatku betanya-tanya: bagaimana jika kita tidak gagal? Bagaimana jika kita bisa bertahan sedikit lebih lama, lebih sabar, lebih mengerti? Mungkin kita akan menjadi pasangan yang membuat iri banyak orang, seperti tokoh dalam cerita yang akhirnya menemukan akhir bahagia. Mungkin kita akan tetap tertawa bersama, berbagi impian di atas meja makan yang sama, saling bercerita tentang hari yang melelahkan, lalu mengakhiri semuanya dengan secangkir teh hangat dengan pelukan kecil di sofa. Tapi, mungkin juga tidak. Mungkin kita memang ditakdirkan hanya sebagai pertemuan yang sementara, yang meski manis, tidak untuk berlangsung selamanya. Mungkin kebersamaan kita seperti matahari yang terbit di tengah musim hujan--indah, tapi sebentar. Aku suka memikirkan ini dalam-dalam, bukan untuk menyiksa diri, tapi untuk meyakinkan hatiku bahwa tidak semua yang indah harus memiliki akhir yang bahagia. Padahal kita punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Kita saling mengerti dalam...