Langsung ke konten utama

Kita Yang Hampir Tiba, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Sampai

Ada satu hal yang selalu membuatku betanya-tanya: bagaimana jika kita tidak gagal? Bagaimana jika kita bisa bertahan sedikit lebih lama, lebih sabar, lebih mengerti? Mungkin kita akan menjadi pasangan yang membuat iri banyak orang, seperti tokoh dalam cerita yang akhirnya menemukan akhir bahagia. Mungkin kita akan tetap tertawa bersama, berbagi impian di atas meja makan yang sama, saling bercerita tentang hari yang melelahkan, lalu mengakhiri semuanya dengan secangkir teh hangat dengan pelukan kecil di sofa.

Tapi, mungkin juga tidak. Mungkin kita memang ditakdirkan hanya sebagai pertemuan yang sementara, yang meski manis, tidak untuk berlangsung selamanya. Mungkin kebersamaan kita seperti matahari yang terbit di tengah musim hujan--indah, tapi sebentar. Aku suka memikirkan ini dalam-dalam, bukan untuk menyiksa diri, tapi untuk meyakinkan hatiku bahwa tidak semua yang indah harus memiliki akhir yang bahagia.

Padahal kita punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Kita saling mengerti dalam banyak hal, tertawa pada lelucon yang sama, menangis di film yang sama, menyukai tempat-tempat yang sama. Bahkan, kita punya cara yang mirip dalam mencintai: diam-diam, penuh perhatian, tapi juga penuh gengsi. Kita tak pernah benar-benar mengaku bahwa kita saling membutuhkan, sampai akhirnya kehilangan yang berbicara lebih dulu.

Lucu, ya? Kita sering merasa bahwa cinta cukup untuk membuat dua orang bertahan. Aku pun dulu berpikir begitu. Tapi ternyata, cinta bisa kehabisan tenaga jika terus menerus diuji. Kita seperti dua orang yang sedang mendayung perahu, tapi ke arah yang berlawanan. Kita berusaha, kita ingin tetap bersama, tapi alih-alih bergerak maju, kita justru semakin lelah dan terombang-ambing di tempat yang sama. Hingga akhirnya, kita berhenti, menyerah pada kenyataan bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dipaksakan.

Padahal, kalau dipikir-pikir, kita ini lucu banget ya? Seperti dua tokoh dalam film romantis yang penuh adegan nyaris--nyaris bahagia, nyaris berhasil, nyaris bertahan. Aku masih ingat bagaimana kita dulu tertawa karena hal-hal kecil, seperti bagaimana cara kamu menyebut namaku dengan nada khasmu, atau bagaimana aku selalu lupa di mana aku menaruh kacamata, dan kamu dengan sabar menemukannya untukku. Kita punya ritme yang pas, seperti lirik lagu yang ditulis dengan rapi.

Tapi lucu saja ternyata tidak cukup. 

Aku pikir, yang paling menyakitkan bukanlah perpisahan itu sendiri, melainkan semua kenangan yang tetap tinggal setelahnya. Aku pernah mencoba melupakan, berusaha meyakinkan diri bahwa waktu akan menyapu semua jejak yang pernah ada. Tapi ternyata, kenangan bekerja dengan cara yang tidak pernah bisa kuduga. Ia datang diam-diam, dalam bentuk lagu yang pernah kita nyanyikan bersama, dalam aroma coklat hangat yang selalu kamu buatkan untukku, dalam sudut kota yang pernah kita lewati dengan saling bergandengan tangan.

Kita memang sudah berpisah, tapi kita masih hidup di dalam ingatan masing-masing, kan? Aku yakin kamu juga merasakannya--momen-momen di mana bayanganku datang tanpa permisi, mengusik ketenanganmu. Atau mungkin, kamu lebih pandai dariku dalam hal melupakan? Mungkin bagimu aku hanyalah potongan cerita yang tidak terlalu penting untuk dikenang. Jika memang begitu, aku tidak tahu harus merasa lega atau justru semakin terluka.

Terkadang aku berpikir, mungkin yang kita butuhkan dulu bukanlah lebih banyak cinta, tapi lebih banyak keberanian. Keberanian untuk jujur saat kita mulai merasa lelah, keberanian untuk mengalah saat ego mulai menang, keberanian untuk memilih tetap bertahan saat segalanya terasa sulit. Tapi sayangnya, kita lebih sering memilih diam, berharap semuanya membaik dengan sendirinya. Kita lupa bahwa hubungan butuh usaha, bukan sekedar doa.

Aku pernah membaca bahwa orang-orang yang saling mencintai tapi tak bisa bersama akan bertemu lagi di kehidupan berikutnya. Aku ingin percaya itu. Aku ingin percaya bahwa di dunia lain, di waktu lain, kita akan bertemu sebagai dua orang yang lebih siap, yang lebih bijak, yang lebih tahu bagaimana cara mencintai tanpa harus saling melukai.

Kita sempat mengira bahwa segala sesuatu yang saling melengkapi pasti akan berjalan baik-baik saja. Seperti puzzle yang potongannya cocok, seperti kopi yang bertemu gula, seperti hujan yang akhirnya merindukan tanah. Tapi siapa sangka, kita justru seperti api dan bensin? Terlalu dekat, kita meledak. Terlalu jauh, kita hampa.

Kamu ingat malam-malam panjang kita? Yang semula penuh obrolan ringan, lalu perlahan berubah menjadi adu ego? Aku masih ingat bagaimana kita saling membuktikan diri, bukan untuk menguatkan, tetapi untuk memenangkan. Kita terlalu sibuk mencari siapa yang lebih benar, hingga lupa bagaimana cara tetap bersama. Aku ingat bagaimana akhirnya aku berhenti berbicara, bukan karena tak ada lagi yang ingin kukatakan, tetapi karena aku tahu, kata-kata sudah tidak lagi cukup.

Dan akhirnya, kita gagal.

Aku tidak tahu apakah aku lebih sedih karena kehilanganmu, atau lebih sedih karena kehilangan kemungkinan akan kita yang bisa bahagia. Kamu tahu, kan, rasanya? Melihat sesuatu yang hampir berhasil, tapi akhirnya hanya menjadi catatan kecil di masa lalu. Kita punya terlalu banyak "seandainya" yang hanya bisa kita bisikkan dalam hati, tanpa pernah bisa kita ucapkan dengan lantang.

Dunia ini luas. Begitu luas hingga mungkin kita bisa menghabiskan sisa hidup tanpa pernah bertemu lagi. Dan aku harap begitu. Bukan karena aku membencimu, bukan karena aku ingin melupakanmu, tapi karena aku tahu, bertemu lagi hanya akan mengingatkan kita pada luka-luka lama yang tak perlu dibuka kembali.

Tapi, sejujurnya, jika takdir tetap mempertemukan kita, aku harap kita hanya akan menjadi dua orang asing yang saling mengangguk pelan, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan. Bukan karena dendam, bukan karena ada luka yang masih tersisa, tapi karena kita tahu, tidak ada yang perlu diulang kembali. Kita telah sampai di akhir yang seharusnya.

Karena aku tidak ingin lagi berada di lingkaran yang sama--lingkaran yang penuh dengan harapan semu, ekspektasi yang tak terucapkan, dan luka yang terus tumbuh dari ketidaksempurnaan kita dalam mencintai. Aku ingin percaya bahwa kita telah memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan, dan itu cukup. Kita hanya dua orang yang bertemu di persimpangan, lalu memilih jalan masing-masing.

Semoga di dunia yang sebesar ini, kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing, tanpa harus saling menyakiti lagi. Semoga kita cukup kuat untuk tidak lagi menoleh ke belakang. Karena bagaimana pun, kita pernah mencoba, kita pernah gagal, dan itu sudah cukup untuk menjadi cerita.

Dan aku, aku ingin mengingat kita sebagai sesuatu yang nyaris jadi. Karena bukankah ada keindahan tersendiri dalam sesuatu yang hampir berhasil, tetapi tidak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelajaran Cinta dan Makna Kehidupan dari Luka Ditinggalkan

Ingatan indah bersama dia terlintas di benak, menghadirkan kembali momen tawa dan canda yang kini hanya tinggal kenangan. Kekosongan yang mendalam menyelimuti hatiku, menggerogoti rasa rindu yang tak terhingga. Di balik kesunyian yang mendalam, duniaku terasa asing tanpa kehadirannya, setiap sudut ruangan menyimpan memori tentangnya yang tak terlukiskan. Bayangannya tak henti menghantuiku, suaranya yang lembut bagaikan alunan merdu kini tak lagi dapat didengar. Kekosongan yang dia tinggalkan bagaikan luka tanpa bekas, namun perihnya menusuk ke dalam hati, meninggalkan luka mendalam yang sulit untuk aku ikhlaskan. Kesedihan mendalam menyelimuti jiwaku, terombang-ambing di lautan kesepian tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dunia terasa runtuh saat aku kehilangan orang tercinta, separuh jiwaku hilang, meninggalkan luka mendalam yang sukar terlupa. Keheningan menyelimuti hari-hariku, ditemani rasa pilu di dada yang tak terlukiskan. Di balik kesedihanku yang mendalam, rasa marah dan kecewa b...

Menjadi Pengisi, Tapi Tak Pernah Menjadi Pemeran Utama

 Ada saatnya aku merasa telah memberikan segalanya untuk seseorang. Waktu, perhatian, bahkan seluruh hati, hanya untuk menyadari bahwa aku hanyalah bagian kecil dalam ceritanya. Aku hadir, tapi tidak pernah benar-benar diutamakan. Aku mengisi ruang yang kosong, tetapi tidak pernah menjadi alasan seseorang untuk tinggal. Awalnya, aku berpikir tidak apa-apa. Selama masih bisa berada di dekatnya, meski hanya pinggiran, aku sudah merasa cukup. Aku percaya bahwa dengan kesabaran, dengan tetap bertahan, suatu saat dia akan menyadari bahwa aku lebih dari sekedar ada. Namun, tidak peduli seberapa banyak yang aku berikan, tidak semua orang akan melihatku seperti yang aku harapkan. Aku bisa menjadi cahaya dalam gelapnya, tempat pulang dikala lelah, tapi jika dalam hatinya aku hanyalah persinggahan sementara, maka seberapa keras pun aku bertahan, aku tetap tak akan menjadi tujuan akhirnya. Dan tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari sekadar menjadi figuran? Bukan hanya sekadar tersisih, ...