Langsung ke konten utama

Rindu yang Gagal Sembuh, Tapi Tak Lagi Mengganggu

Pernah, di malam-malam sunyi yang panjang, aku sadar: tak semua rindu bisa tiba, dan tak semua tanya layak dikejar jawabannya. Ada yang datang sekadar singgah, lalu pergi tanpa suara. Seperti bayanganmu yang kadang lewat, kadang menghilang, tapi tak pernah benar-benar hilang.

Aku pernah membaca—entah di mana—bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah yang harus disimpan diam-diam. Rindu yang hanya bisa dipeluk dalam kepala, yang tak pernah punya tempat untuk mendarat. Dan entah kenapa, aku masih memeliharanya. Mungkin karena di situ aku merasa kamu masih dekat, walau hanya bayangan.

Setiap pagi aku bangun dengan kebiasaan yang sama. Duduk, mengecek ponsel, dan menahan diri agar tidak mengetikkan “kabar kamu gimana?” Padahal jari-jari ini hafal betul letak namamu. Tapi hati lebih hafal kenyataan bahwa kamu bukan lagi tempat yang bisa kusebut tujuan.

Ternyata perpisahan itu tidak selalu menggelegar. Kadang ia datang dalam bentuk obrolan yang makin jarang, pesan yang makin singkat, dan akhirnya diam yang makin lama. Kita tidak bertengkar, tidak juga saling menyakiti. Kita hanya berhenti, pelan-pelan.

Dan aku, dengan semua jeda yang tak kita isi, mulai bertanya: kamu pernah kepikiran aku nggak, sih? Bukan karena aku ingin kembali. Tapi karena kadang, sekadar dipikirkan pun sudah cukup untuk membuat hati sedikit hangat.

Hati bisa retak dalam diam. Tanpa suara, tanpa ledakan. Seperti gelas yang pecah karena terlalu lama menahan panas. Aku tidak meledak, hanya mengendap. Dan dalam endapan itu, kamu masih ada.

Aku tidak sedang meratapi apa yang hilang. Tidak juga menyesali yang telah pergi. Aku hanya sedang menuliskan apa yang tak sempat dibicarakan. Agar luka-luka kecil di dalam dada punya ruang untuk pulih perlahan.

Aku tahu ini terdengar berlebihan—mengaitkan lagu, hujan, atau bau kopi denganmu. Tapi begitulah kerja ingatan. Ia tidak tahu waktu, tidak tahu batas. Ia hanya tahu kamu pernah penting. Dan kadang, itu cukup untuk membuatmu tetap tinggal, meski samar.

Hidup terus berjalan, dan aku pun melangkah. Tapi kadang, bayanganmu muncul seperti pengunjung lama yang lupa jalan keluar. Aku tidak lagi menahannya, tidak juga mengusir. Aku hanya membiarkannya lewat, sebentar.

Orang sering bilang aku harusnya sudah move on. Dan aku pun mengiyakan, setengah bohong, setengah percaya. Karena bagaimana caranya benar-benar melupakan seseorang yang pernah kamu semogakan dengan sepenuh hati?

Aku belajar mencintai tanpa berharap kembali. Belajar merelakan tanpa perlu merasa kalah. Belajar bahwa tak semua rasa harus diikuti. Kadang cukup dipahami, lalu dilepas.

Tapi tetap saja, di sela-sela sibuk dan ramai hari, pikiranku melesat ke satu titik: apakah kamu pernah, walau sebentar, mencari namaku di antara notifikasi ponselmu? Apakah kamu pernah ingin tahu kabarku, seperti aku diam-diam penasaran tentangmu?

Aku tidak ingin kamu kembali. Aku juga tidak ingin membuka pintu lama yang sudah lama kukunci. Aku hanya ingin tahu—sekali saja—apakah kamu juga merindukan aku dengan cara yang tak bisa kamu ceritakan pada siapa pun?

Kalau pun tidak, tak apa. Aku tidak marah, tidak kecewa. Karena sebenarnya, ini bukan tentang kamu lagi. Ini tentang aku yang perlahan belajar membiasakan diri dengan kehilangan yang tak pernah benar-benar terasa selesai.

Aku tahu kamu bukan lagi kamu yang dulu. Seperti aku pun bukan lagi aku yang dulu menunggumu dengan pesan-pesan yang tak dikirim. Tapi memori tentang kita masih tersimpan, rapi, di salah satu laci hati yang jarang kubuka.

Dan kalau suatu hari kamu lewat di tempat yang pernah kita datangi, lalu tersenyum kecil karena ingat satu lelucon receh dariku, aku akan senang sekali. Bukan karena aku berharap kembali. Tapi karena itu berarti: aku pernah ada, walau sebentar.

Karena kamu, entah suka atau tidak, pernah jadi alasan aku menulis puisi lebih dari biasanya. Menyendiri lebih lama dari biasanya. Dan diam-diam berharap, lebih keras dari biasanya.

Jadi tenanglah. Aku tidak akan mencari lagi. Tapi kalau satu hari kamu kembali sebagai kenangan, aku akan menyapamu dengan tenang. Tanpa luka, tanpa tanya. Cukup dengan senyum kecil yang berkata, “Pernah ada kita, dan itu cukup.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelajaran Cinta dan Makna Kehidupan dari Luka Ditinggalkan

Ingatan indah bersama dia terlintas di benak, menghadirkan kembali momen tawa dan canda yang kini hanya tinggal kenangan. Kekosongan yang mendalam menyelimuti hatiku, menggerogoti rasa rindu yang tak terhingga. Di balik kesunyian yang mendalam, duniaku terasa asing tanpa kehadirannya, setiap sudut ruangan menyimpan memori tentangnya yang tak terlukiskan. Bayangannya tak henti menghantuiku, suaranya yang lembut bagaikan alunan merdu kini tak lagi dapat didengar. Kekosongan yang dia tinggalkan bagaikan luka tanpa bekas, namun perihnya menusuk ke dalam hati, meninggalkan luka mendalam yang sulit untuk aku ikhlaskan. Kesedihan mendalam menyelimuti jiwaku, terombang-ambing di lautan kesepian tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dunia terasa runtuh saat aku kehilangan orang tercinta, separuh jiwaku hilang, meninggalkan luka mendalam yang sukar terlupa. Keheningan menyelimuti hari-hariku, ditemani rasa pilu di dada yang tak terlukiskan. Di balik kesedihanku yang mendalam, rasa marah dan kecewa b...

Menjadi Pengisi, Tapi Tak Pernah Menjadi Pemeran Utama

 Ada saatnya aku merasa telah memberikan segalanya untuk seseorang. Waktu, perhatian, bahkan seluruh hati, hanya untuk menyadari bahwa aku hanyalah bagian kecil dalam ceritanya. Aku hadir, tapi tidak pernah benar-benar diutamakan. Aku mengisi ruang yang kosong, tetapi tidak pernah menjadi alasan seseorang untuk tinggal. Awalnya, aku berpikir tidak apa-apa. Selama masih bisa berada di dekatnya, meski hanya pinggiran, aku sudah merasa cukup. Aku percaya bahwa dengan kesabaran, dengan tetap bertahan, suatu saat dia akan menyadari bahwa aku lebih dari sekedar ada. Namun, tidak peduli seberapa banyak yang aku berikan, tidak semua orang akan melihatku seperti yang aku harapkan. Aku bisa menjadi cahaya dalam gelapnya, tempat pulang dikala lelah, tapi jika dalam hatinya aku hanyalah persinggahan sementara, maka seberapa keras pun aku bertahan, aku tetap tak akan menjadi tujuan akhirnya. Dan tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari sekadar menjadi figuran? Bukan hanya sekadar tersisih, ...

Kita Yang Hampir Tiba, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Sampai

Ada satu hal yang selalu membuatku betanya-tanya: bagaimana jika kita tidak gagal? Bagaimana jika kita bisa bertahan sedikit lebih lama, lebih sabar, lebih mengerti? Mungkin kita akan menjadi pasangan yang membuat iri banyak orang, seperti tokoh dalam cerita yang akhirnya menemukan akhir bahagia. Mungkin kita akan tetap tertawa bersama, berbagi impian di atas meja makan yang sama, saling bercerita tentang hari yang melelahkan, lalu mengakhiri semuanya dengan secangkir teh hangat dengan pelukan kecil di sofa. Tapi, mungkin juga tidak. Mungkin kita memang ditakdirkan hanya sebagai pertemuan yang sementara, yang meski manis, tidak untuk berlangsung selamanya. Mungkin kebersamaan kita seperti matahari yang terbit di tengah musim hujan--indah, tapi sebentar. Aku suka memikirkan ini dalam-dalam, bukan untuk menyiksa diri, tapi untuk meyakinkan hatiku bahwa tidak semua yang indah harus memiliki akhir yang bahagia. Padahal kita punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Kita saling mengerti dalam...