Ada banyak hal di dunia ini yang tak selesai, dan bukan karena kurang cinta. Kadang hanya karena waktu tak berpihak, atau karena dua orang terlalu takut akan luka yang pernah datang sebelumnya. Aku menyadari, tidak semua pertemuan dimaksudkan untuk menjadi perjalanan. Beberapa hanya mampir, untuk mengingatkan kita bahwa hati kita masih bisa bergetar, bahkan ketika kita tak ingin jatuh cinta lagi.
Kamu datang seperti itu—sebuah kejutan tenang yang merayap pelan ke dalam hidupku. Kita tidak mulai dengan ledakan, tapi dengan bisikan yang tumbuh. Dari tanya yang sederhana, dari tatapan yang terlalu lama tertahan, dari senyum yang tidak semestinya terlalu manis untuk pagi hari yang biasa-biasa saja. Kamu adalah jeda dalam hidupku yang bising, dan aku menyukainya.
Aku pernah berpikir, jika suatu saat aku jatuh cinta lagi, itu akan terasa seperti badai. Ternyata tidak. Ternyata jatuh cinta bisa seperti pulang—hangat, sederhana, dan tanpa banyak kata. Tapi seperti rumah yang tak sempat dibangun, cinta itu pun tak sempat tumbuh penuh. Ia tumbuh miring, tertiup angin, lalu pelan-pelan layu di tengah musim yang berubah.
Yang lucu, kadang aku merasa kita sama-sama sadar akan itu. Bahwa kita ini terlalu mirip dalam ketakutan. Kita tahu kita bisa menyakiti, karena kita tahu cara mencintai. Kita tahu betapa tajamnya harapan, dan betapa sunyinya kekecewaan. Maka kita memilih menjaga jarak. Kita pikir itu cara terbaik untuk saling menyelamatkan. Tapi bukankah menyelamatkan diri kadang berarti membiarkan yang lain tenggelam?
Hari-hari bersama kamu bukan tentang ledakan perasaan, tapi tentang keheningan yang bermakna. Kita tak pernah berkata, "Aku sayang kamu," tapi dunia tahu dari cara kita duduk diam berdampingan, atau dari caramu membenarkan jaketku yang miring. Mungkin kita terlalu puitis untuk dunia yang pragmatis.
Ada sebuah ungkapan yang terus-menerus berdengung di kepalaku akhir-akhir ini: mungkin, beberapa kapal memang digariskan untuk tidak berlayar. Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya—mungkin seorang pelaut tua yang sudah kenyang dikecewakan oleh laut, atau mungkin seseorang yang pernah mencintai sekuat tenaga, lalu dikhianati oleh nasib. Tapi aku mengerti betul maknanya. Karena kini, aku berdiri di dermaga yang sama, menatap kapal yang kita bangun bersama… tapi tak pernah benar-benar sempat meninggalkan pelabuhan.
Aku tidak menulis ini untuk menyalahkanmu. Atau menyalahkan diriku. Atau waktu, atau semesta, atau semua alasan klise yang sering kita pakai untuk menyederhanakan patah hati. Aku menulis ini karena ada banyak hal yang tak sempat selesai, tak sempat dikatakan, tak sempat dirayakan atau dikuburkan. Hubungan kita, kalau bisa disebut begitu, adalah sebuah kapal setengah jadi. Lambungnya sudah dibentuk dari tawa-tawa awal yang manis, tiangnya dari obrolan dini hari, layarnya dari pelukan yang singkat tapi intens. Tapi tali-tali pengikatnya longgar, dan nahkodanya ragu.
Aku sering bertanya-tanya, kapan tepatnya kita berhenti membangun? Atau, apakah sejak awal memang tak ada niat untuk benar-benar menyelesaikannya? Mungkin kamu hanya ingin bermain pasir di sekitar pelabuhan, mengamati gelombang dari kejauhan tanpa benar-benar ingin mengarunginya. Sedangkan aku, diam-diam sudah membeli peta, menghafal arah angin, dan mencatat koordinat tempat-tempat yang ingin kita singgahi bersama. Tapi aku lupa, bahwa kapal tak bisa berlayar hanya dengan satu awak yang siap.
Kita sempat punya potensi jadi indah, bukan? Kamu dengan caramu yang tenang tapi tajam, aku dengan segala keributan batinku yang tak bisa diam. Kita bisa saja saling melengkapi, seperti dua musim yang datang bergantian. Kamu adalah kemarau yang membuatku menghargai hujan. Dan aku, entah bagaimana, selalu ingin menjadi badai kecil yang diam-diam kamu rindukan. Tapi seperti musim, kita tak pernah bisa hadir dalam waktu yang sama.
Ada malam-malam saat kita nyaris mengaku, nyaris saling membuka pintu, nyaris menggenggam lebih erat. Tapi semuanya berhenti di ambang. Kita seperti dua orang yang tahu mereka jatuh cinta, tapi terlalu takut untuk mengakuinya. Aku tahu kamu takut. Aku juga. Tapi perbedaan antara kita adalah: aku tetap ingin mencoba, meski tahu hasilnya bisa membuatku karam. Kamu tidak.
Terkadang aku membayangkan, bagaimana jika kita memutuskan untuk bertaruh? Bagaimana jika kita benar-benar duduk dan berkata, "Ayo kita mulai." Apakah kita akan lebih bahagia? Atau justru lebih hancur? Tidak ada yang tahu. Tapi setidaknya kita tak akan hidup dalam bayangan kemungkinan. Setidaknya kita tahu, kita pernah mencoba.
Tapi kita memilih tidak. Dan waktu terus berjalan, membawa kita ke pelabuhan yang berbeda. Aku dengan kapal-kapal baru yang tak seindah kapal kita. Kamu, entah. Mungkin kamu tetap berdiri di tempat yang sama, atau mungkin kamu telah menemukan seseorang yang lebih berani.
Aku masih sering mengingat kita dalam diam. Dalam musik yang tiba-tiba memutar nada-nada kita. Dalam bau hujan yang tiba-tiba mengingatkan pada sore-sore kita. Kamu masih hidup dalam hal-hal kecil, dalam detail yang mungkin bahkan tak kamu sadari dulu. Dan di sanalah kamu abadi.
Aku ingin percaya bahwa semua ini bukan sia-sia. Bahwa meski kapal kita tak pernah berlayar, ia tetap memberi makna. Bahwa proses membangunnya telah mengajarkan kita tentang cinta, tentang ragu, tentang kehilangan. Bahwa mungkin, kita tidak gagal—kita hanya selesai sebelum sempat mulai.
Kamu tahu apa yang menyakitkan? Bukan karena kita gagal, tapi karena kita bahkan tidak benar-benar mulai. Kita tidak pernah duduk dan berkata, "Ayo." Kita hanya berdiri di tepi, menatap kemungkinan-kemungkinan, menyusun rencana dalam bisikan, lalu mundur satu per satu. Kamu karena takut terluka, aku karena takut sendiri di tengah lautan.
Beberapa orang bilang, cinta yang tidak jadi itu lebih menyakitkan dari cinta yang gagal. Aku paham sekarang. Karena tak ada yang bisa dikubur kalau tak ada yang lahir. Kita hanya punya tumpukan kayu dan paku-paku berserakan—bahan bangunan yang tak pernah sempat menjadi rumah.
Sekarang, aku tak lagi menunggu kapal itu selesai. Aku hanya duduk di tepi dermaga, mengingat bentuknya dalam kepalaku. Mengingat bagaimana kamu menyentuh lenganku di malam pertama kita bicara serius. Mengingat suaramu yang nyaris berbisik ketika berkata, "Kamu bikin aku takut." Aku tidak tahu apakah itu bentuk dari kekaguman, atau bentuk dari penolakan yang disamarkan.
Kita ini aneh. Kita saling tahu bahwa ada sesuatu, tapi kita terlalu terlatih dalam seni menjaga jarak. Kita terlalu sopan, terlalu penuh pertimbangan, terlalu takut untuk jadi lelucon. Kita ingin jadi cerita yang matang, padahal kita bahkan belum berani menulis bab pertama.
Maka kini, izinkan aku mengucapkan ini: aku melepaskanmu. Bukan karena aku sudah tak cinta, bukan karena aku sudah tak berharap. Tapi karena aku sadar, beberapa kapal memang tidak untuk berlayar. Dan itu tidak menjadikannya kurang indah. Bahkan kapal yang diam di dermaga pun tetap bisa membuat orang terpesona. Ia hanya tak ditakdirkan untuk melawan gelombang.
Mungkin, di kehidupan yang lain, aku akan bertemu lagi denganmu. Mungkin di sana, kita adalah dua pelaut yang tak lagi ragu. Mungkin di sana, kamu akan menggenggam tanganku lebih erat. Tapi jika tidak pun, aku akan tetap bersyukur pernah mengenalmu. Karena meskipun kita tidak jadi kisah cinta yang lengkap, kamu tetap bagian dari puisi panjang yang kutulis tentang keberanian, harapan, dan kehilangan.
Kapal kita memang tak berlayar. Tapi aku pernah membayangkannya. Dan untukku, itu cukup.
Komentar
Posting Komentar